Tulisan Pertama dengan Gboard

girl-2239965_1920
Berbicara dengan handphone. (Photo by Pixabay)

Note: tulisan berikut ini sepenuhnya “diketik” menggunakan aplikasi Gboard pada ponsel Android, selesai dalam waktu kurang dari setengah jam, sembari nyetir dalam perjalanan menuju kantor. Butuh waktu sekitar kurang dari satu jam untuk mengeditnya sampai siap dipos.

Saat ini aku sedang menyetir sembari tanganku memegang handphone. Aku sedang mencoba menulis menggunakan Gboard.

Akhir pekan kemarin aku bertemu dengan seorang teman. Dibilang teman tapi sebenarnya dia sudah berusia cukup lanjut. Sudah pensiun dan biasanya untuk orang yang berumur lanjut seperti itu tidak akan fasih dengan benda-benda berteknologi tinggi seperti handphone. Tapi kali ini berbeda. Pak Yos, namanya, tiba-tiba berkata kepadaku, “Mas sudah tau yang namanya Gboard? Sekarang saya mengetik dengan Gboard.”

“Apa itu, Pak?” tanyaku. Terus terang ku belum tahu. Apakah mungkin aku ini termasuk sedikit dari orang-orang yang mungkin tidak pernah tahu perkembangan terkini dari handphone makanya ada orang tua yang justru lebih update daripada aku.

Pak Yos bilang bahwa sekarang dia tidak perlu lagi mengetik karena cukup ngomong aja, nanti dengan sendirinya akan terketik. Aku membayangkan cara-cara seperti ini sih sebenarnya bukan hal baru. Kayaknya sudah pernah ada. Namun, kayaknya belum ada yang benar-benar praktis, terutama menyangkut kemampuan untuk mengenali suara (voice recognition), apalagi dalam bahasa Indonesia. Makanya, aku tidak terlalu antusias..

Karena yang bicara orang tua, ya aku tidak enak. Aku coba saja. Waktu pertama kali install dan aku coba ternyata gagal. Tampaknya masalahnya karena memang aku selalu menggunakan setting dalam bahasa Inggris.

Nah, setelah sampai aku jajal beberapa kali, mengubah setting bahasa menjadi bahasa Indonesia, akhirnya bisa menggunakan Gboard ini.

Mudah dan praktis

Apa saja manfaat Gboard?

Yang pertama tentu saja kemudahan dan kepraktisan dalam mengetik. Karena bagaimanapun mengetik dengan jempol jauh lebih lambat ketimbang mengetik dengan 10 jari, dan “mengetik” dengan berbicara jauh lebih cepat ketimbang mengetik dengan 10 jari. Secepat-cepatnya jari-jari tangan mengetik dengan menari-nari di atas tuts keyboard, jauh lebih cepat komputer yang dapat menangkap dan mengubah kata-kata yang diucapkan menjadi aksara terketik. Dengan cara ini juga kita benar-benar dapat mengetik secara handsfree, karena tangan tidak perlu melakukan apa-apa

Hal lain lagi adalah bahasa yang digunakan jauh lebih natural. Agar suara dapat mudah dikenali tentunya artikulasi saat berbicara harus jelas. Selain itu, bahasa lisan membuat tulisan menjadi lebih natural. Pernah nggak mengalami, ketika menulis agak kesulitan untuk menuangkan dalam kata-kata yang pas. Kalau dipaksa memang akhirnya jadi juga, namun setelah dibaca ulang kok jadi aneh. Nah, ini yang sering kali aku anjurkan setelah selesai menulis atau pada saat menyunting naskah, usahakan untuk membaca kembali tulisan secara utuh, kalau perlu dibacakan dengan bersuara. Nanti, kita dapat mengetahui kalau ada bagian yang terasa janggal.

Mungkin karena kecepatan berpikir jauh lebih pesat ketimbang berkata-kata, apalagi mengetik, jadinya memang kata-kata itu kayak berebutan mau keluar. He he he, penjelasan macam apa ini? Tapi, ya gitulah, semoga mengerti yang aku maksud. Ya butuh kayak semacam penerjemahan gitu dari bahasa lisan menjadi bahasa tulisan. Nah, kalau kita sudah menggunakan bahasa lisan (baca: langsung berkata-kata), maka tulisan yang dihasilkan akan terasa lebih natural.

Kita juga bisa berbicara dengan senatural mungkin sehingga kita sudah membayangkan, bagaimana kalimat itu diucapkan, intonasinya seperti apa, dll. Tapi memang, kadang bahasa lisan itu tidak terlalu efektif jika dijadikan tulisan. Seringkali ada kata-kata ujaran yang pada saat diucapkan itu enak untuk melancarkan bahasa tapi sebenarnya jadi agak bertele-tele saat menjadi bahasa tulisan sehingga jadi agak kurang efektif. Tapi, saya kira masih lebih mudah untuk mengedit dan merapikan kalimat seperti itu ketimbang harus mengetik semuanya.

Karena bisa dilakukan tanpa harus menggunakan tangan maka “menulis” kini dapat dilakukan sambil melakukan pekerjaan lain. Misalnya seperti saat ini, saya sedang menyetir. Saya seringkali berpikir menyetir atau commuting itu adalah salah satu pekerjaan yang paling banyak menghabiskan waktu. Seringkali saya membutuhkan waktu antara satu setengah sampai dua jam untuk melaju dari kantor ke rumah atau sebaliknya. Dan jika kondisi jalanan sedang macet, waktu yang dibutuhkan lebih lama lagi. Biasanya, saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi dan hanya menunggu saja membuang waktu percuma di dalam mobil. Paling-paling, saya hanya bisa mendengarkan musik atau podcast.

Tentu saja saya tidak dapat menonton karena harus tetap memfokuskan perhatian pada jalan di depan. Apalagi melakukan pekerjaan seperti menulis. Selama ini saya terpikir untuk merekam suara atau video sehingga saya tetap dapat “menulis”. Nanti saya tinggal mentranskrip perkataan saya itu agar jadi tulisan. Namun, mendengarkan ulang dan mentranskrip menjadi dua kali kerja dan pekerjaan mentranskrip itu tidak menyenangkan. Nah, dengan Gboard, apa yang hendak saya katakan langsung diubah menjadi kata-kata yang terketik.

Sangat menyenangkan. Nanti saya tinggal membuka kembali filenya dan mengeditnya –seperti yang saya lakukan saat ini. Memang, kita tidak bisa melakukan ini di sembarang tempat, katakanlah kalau sedang di bus atau di mikrolet. Salah-salah nanti bisa mengundang tatapan aneh dari orang sekitar, “Ini orang ini lagi ngapain, kok ngomong sendiri dengan handphone.”

Itu sisi menyenangkannya. Apakah ada sisi yang kurang menyenangkan. Berhubung belum terlalu lama menjajal, paling ada beberapa hal yang bisa saya bagikan. Menggunakan Gboard ini sangat mudah. Buka saja aplikasi untuk mengetik—kalau saya menggunakan Evernote—lalu saat siap mengetik akan muncul tombol Gboard. Klik saja gambar mikrofon, Anda siap untuk “mengetik”. Nah, saat “menulis” (baca: ngomong dengan handphone), kalau kelamaan diam, misalnya kalau sedang berpikir mau ngomong apa, mikrofon secara otomatis mati sehingga harus ditekan lagi agar kembali menyala. Tapi aku pikir ini tidak masalah karena jauh lebih cepat menekan tombol mikrofon ketimbang harus menekan tuts tuts keyboard.

Pengenalan akan bahasa Indonesia menurut saya sudah lumayan oke. Untuk kata-kata yang baku sudah hampir tidak ada masalah. Bahkan untuk kalimat-kalimat atau kata-kata yang tidak baku alias slank, dia juga cukup ngerti. Malah, tersedia juga—kalau perlu—pengenalan dalam bahasa Jawa atau Sunda.

Sayangnya, saya belum menemukan cara untuk membuat tanda bahasa seperti titik (.) atau koma (,). Setiap kali saya mengatakan “titik” atau “koma” yang tertulis adalah kata “titik” dan “koma”. Berbeda halnya kalau dengan bahasa Inggris. Kalau hendak mengakhiri sebuah kalimat, saya cukup mengatakan “period” atau kalau sedang membutuhkan jeda, saya cukup mengatakan “comma”. Untuk paragraf baru, saya juga tinggal katakan “new paragraph”. Langsung jadi tuh.

Nah, jadi dalam bahasa Indonesia, ada pekerjaan tambahan pada saat menyunting naskah. Saya harus menambahkan titik atau koma secara manual pada tempatnya. Tapi, ini pun masih terasa jauh jauh jauh lebih efisien. Yang penting saya sudah mengetikkan setiap kata yang saya butuhkan.

Semua orang bisa nulis

Nah, ini semakin menguatkan argumentasi saya bahwa setiap orang itu pada dasarnya bisa menulis. Istri saya kerap mengeluh bahwa dia tidak bisa menulis. Padahal, dia adalah seorang yang sangat gemar berkata-kata. Kalau sudah bercerita dia bisa terus bercerita selama 2 jam tanpa henti. Entah apa saja yang dia ceritakan. Semua bisa menjadi cerita yang menarik bagi dia karena dia berbicara dengan penuh semangat penuh emosi. Dia mampu membuat kita seolah-olah mengalami peristiwa yang dia ceritakan. Makanya, dia sering mengkritik saya kalau cerita terlalu datar, cenderung seperti bahasa laporan. Dia tidak bisa membayangkan apa yang saya ceritakan.

Nah, tapi dia mengeluh dia tidak bisa menulis. Makanya saya suka bilang, mengapa tidak kamu rekam saja kamu sedang bercerita. Nanti kamu bisa mentranskripnya dan jadi sebuah tulisan.

Pada intinya kan komunikasi. Kamu menyampaikan apa yang ada dalam pikiran. Tinggal bentuknya saja yang berbeda, kalau selama ini kamu menggunakan bahasa lisan berkata-kata tulisan itu kan sebenarnya cuman mengubah bentuknya dari yang tadinya bahasa lisan menjadi tulisan. Saya pikir dengan adanya Gboard ini sekarang dia tidak perlu lagi pusing dengan kata-katanya. Dia cukup cerita saja apa adanya nanti aku bisa mengeditkannya menjadi sebuah tulisan.

Oke, agak bertele-tele memang ceritaku kali ini. Karena memang sedang mau menjajal, apakah bisa jadi jauh lebih produktif dengan menggunakan Gboard. Tapi yang jelas untuk beberapa menit berkata-kata di depan handphone ini saja aku sudah menghasilkan tulisan yang cukup panjang, walau aku belum hitung jumlah karakternya. Yang jelas, aku harus terpaksa scrolling cukup panjang. Mungkin sekitar 3 ribuan karakter. Nanti coba aku hitung secara lebih cermat. (Notes: setelah aku cek pakai MS Word, ternyata panjang naskah yang aku hasilkan mencapai lebih dari 7.000 karakter, dua kali lipat dari perkiraan semula. Not bad… not bad at all…).