Bye Bye Pandemi, Hello Resesi

Hari-hari ini, perbincangan tentang pandemi semakin memudar. Kalau melihat di jalanan dan berbagai tempat, kayaknya orang udah enggak peduli lagi dengan pandemi. Bukan nggak peduli ignorance, tapi memang vibe-nya (kalo ngikuti istilah Jeremy) udah kayak nggak pandemi lagi. 

Dulu sibuk kali dengan 3M, menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Sekarang, mungkin, tinggal menggunakan masker aja yang masih. Tapi, itu pun karena peraturan, bukan lagi karena kesadaran, apalagi kekhawatiran. Ya khawatir juga sih, kalo ditegur satpam atau orang yang lewat.

Hehe, masih ingat dulu baru-baru mulai berani keluar rumah, bete banget melihat orang berkeliaran yang nggak disiplin atau seenaknya nggak pake masker, atau maskernya digantung di dagu. Sempat punya rencana bikin kaos gambar monyet dengan tulisan “yang nggak pakai masker dengan benar monyet” Hahaha, akhirnya nggak jadi karena nggak enak ntar ada monyet yang tersinggung disamain dengan orang yang nggak disiplin pakai masker.

Jumlah kasus 0

Pekan lalu, beredar pesan whatsapp rutin di lingkungan kantor yang menyebutkan tentang status Covid-19 di kantor. Untuk pertama kali setelah sekian lama, jumlah kasus 0 orang. Yes, jadi bebas alias sama sekali nggak ada yang positif Covid-19 di lingkungan kantor.

Wah, ini prestasi banget. Karena, sebelumnya, walaupun sudah turun jauh, masih selalu ada yang masih positif. Termasuk kami sekeluarga yang sempat masuk dalam daftar ini pada Februari lalu, ketika angka kasus Omicron sedang tinggi-tingginya.

Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi sempat menyatakan, mungkin dalam waktu dekat pemerintah akan menyatakan pandemi telah berakhir. Yup, biarpun telat dibandingkan negara-negara lain, tapi sepertinya cukup aman untuk menyatakan pandemi perlahan akan usai.

Baca juga: Sapaan Ilahi melalui Teknologi

Masa-masa WFH akan menjadi kenangan, ketika mandi tidak menjadi keharusan saat harus meeting dengan klien/narasumber penting. Cukup cuci muka sekenanya dan menggunakan atasan yang pantas. Bawahnya? Ya senyamannya aja, mau koloran juga enggak apa-apa, hehehe. Kan yang terlihat di layar Zoom cuma muka, itupun kalau on-cam, karena akhirnya belakangan seringan off-cam.

Sekarang kebijakan kantor sudah kembali full WFO. Rasanya berbagai tempat juga begitu, termasuk sekolahnya Jeremy. Tinggal Icha aja yang lebih nyaman dengan WFH sehingga lagi mutar otak untuk mengubah model bisnis sekolahnya menjadi full WFH.

Ada juga yang masih berhati-hati untuk mulai tatap muka, di antaranya gereja tempat kami beribadah. Sejak September lalu, kami mulai mencoba ikut kebaktian tatap muka–walau untuk itu terpaksa mengubah jadwal sepedaan yang sudah mulai nyaman dilakukan pada Minggu pagi. Alasannya sederhana saja, masak sudah bolak-balik main ke mal, giliran ke gereja masih enggan hehe.

Suasana kebaktian di salah satu gereja di Kebayoran Baru.

Ternyata memang vibe-nya beda. Walau mesti daftar dulu, jumlahnya masih dibatasi, dan tempat duduk mesti mengikuti nomor yang diberikan, tapi kembali beribadah di gedung gereja mengembalikan pengalaman yang telah hilang selama 2,5 tahun tahun.

Harus bersiap dulu dan menempuh perjalanan sekira 20 kilometer memang membuat kita mau-tidak-mau harus bersiap untuk beribadah. Nggak seperti ibadah online, yang bisa dilakukan senyamannya waktu. Bahkan, kalau telat, di Youtube-nya masih bisa dimundurin agar bisa ngikutin dari awal. Parahnya,  dengan cara begini, ketika ketemu part yang kurang “asyik”, bisa dicepetin, hahaha. Siapa yang juga melakukan hal tidak senonoh seperti ini?

Bagaimanapun, WFH memberikan banyak pembelajaran seputar digitalisasi. Ternyata, banyak perilaku yang bisa diubah untuk menjadi lebih ke arah digital, mulai dari rapat, bersosialisasi, belanja, dll. Beberapa perilaku sebelumnya sudah mulai digital, tapi kian kental dan menjadi kelaziman gegara periode WFH.

Resesi

Okelah, cukup dengan pandemi. Sekarang yang lagi banyak dibicarain orang adalah tentang lesti kejora, eh… maksudnya resesi.

Isteriku tercinta, Icha, termasuk yang getol mengangkat masalah ini. Tahunya dari mana? Ya dari berbagai podcast dan khotbah online yang dia dengerin. Begitulah orang mendapatkan informasi hari-hari ini, bukan dari media tepercaya seperti Kompas, eh…

Nggak keliru sih, ini memang topik yang valid dan relevan dibicarakan hari-hari ini. Terus, pembahasan juga melebar ke topik perang russia-ukraina. Tapi, aku agak alergi kalo sudah mengarah ke prediksi-prediksi supranatural hehe. Boleh-boleh aja yang mendasarkan argumentasinya pada hal-hal metafisika, tapi aku kok merasa isu ini harus dicerna secara logika berdasarkan fakta dan data.

Baca juga: Waktunya Mengakhiri Apa yang Dimulai

Sependek pengetahuanku yang tidak terlalu paham ekonomi makro, isu resesi ini bisa gawat kalau dipahami sekenanya. Boleh jadi malah menjadi bahan gorengan politikus yang suka memanfaatkan kemalasan publik yang tidak kritis dan menelan begitu saja retorika divisi agitprop partai receh, hehehe. Cemmana, udah mantap bacot aku barusan?

Tapi, begitulah. Narasi gagah tentang resesi ini memang bahaya kalau tidak dipahami dengan benar. Bahwa memang mungkin ekonomi ke depan cukup suram, sesuram prospek hubunganmu dengan gebetan, tapi memang harus punya sikap yang benar juga menghadapinya.

Benar, kita harus eling lan waspodo. Tapi, bukan berarti enggak berbuat apa-apa. Benar, kita harus berhemat dan menghindari pengeluaran yang nggak perlu, tapi bukan berarti mengubur talenta dalam tanah. Ntar marah lho tuan yang pergi ke luar negeri (bd Mat 25:14).

Pasangan yang tercyduk sedang kencan di salah satu mal.

Ini diskusiku dengan Icha: ini tantangan riil hari ini, yang justru bukan harus disikapi dengan ketakutan dan kekhawatiran berlebihan. Bukannya jemawa, apalagi takabur, tapi ini saatnya untuk berani mengambil risiko sembari tetap berhati-hati dan terukur. Ya, soalnya dia beneran lagi pusing memikirkan sekolahnya yang kehilangan banyak murid. Tidak mudah memang mengubah haluan bisnis.

Sama aja di kantor, bisnis media masih terus struggle. Entah bagaimana nasibnya di tahun resesi 2023. Tapi, bagaimanapun, harus tetap optimistis.

Great things may come to those who wait, but only the things left by those who hustle, kata Lincoln. Ini mungkin pesan yang pas menjelang tahun resesi. Yuk bisa yuk, mari kita hustle! Tetap semangat!…